fb aswaja center kepung

Jumat, 18 Oktober 2013

Perbedaan Asyariyah dan Maturidiyah


Perbedaan antara Asy’ariyah dan Maturidiyah
Telah dijelaskan bahwa Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah para pengikut Abul Hasan al Asy’ari yang disebut dengan Asy’ariyah atau Asya’irah dan para pengikut Abu Manshur al Maturidi yang disebut dengan Maturidiyah. Keduanya disebut Ahlussunnah Wal Jama’ah karena dalam prinsip-prinsip akidah memiliki kesamaan. Sehingga boleh dikatakan bahwa Asy’ariyah adalah Maturidiyah dan Maturidiyah adalah Asy’ariyah. Perbedaan di antara keduanya hanyalah dalam sebagian kecil permasalahan furu’ (cabang, bukan prinsip) akidah. Berbeda halnya perbedaan antara Ahlussunnah dengan Musyabbihah Qadariyah, Jabriyah, Murjiah. Perbedaan dengan mereka adalah dalam ushul al akidah (prinsip akidah).
Perlu diketahui bahwa permasalahan akidah terbagi menjadi dua macam; ushul (pokok-pokok) akidah dan furu’ (cabang-cabang) akidah. Perbedaan pendapat dalam ushul akidah dapat mengeluarkan penentangnya keluar dari al firqah an Najiyah (Ahlussunnah Wal Jama’ah), sedangkan perbedaan pendapat dalam furu’ al aqidah tidak menjadikan salah satunya keluar dari golongan Ahlussunnah Wal Jama’ah.
Ushul al Akidah adalah dasar-dasar keimanan yang enam sebagaimana dijelaskan dalam hadits Jibril. Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
الاِيْمَانُ أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ رَسُلُِهِ وَاْليَوْمِ الآخِرِ وَاْلقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ
Iman adalah apabila kamu beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan qadar yang baik dan yang buruk”[1]

Berdasarkan hadits tersebut ushul akidah ada enam perkara. Pertama, beriman kepada Allah; yaitu bahwa Allah ada tanpa ada keraguan, tida ada yang disembah dengan benar kecuali hanya Allah. Allah tidak serupa dengan makhluk-Nya, Ia bukan benda katsif (benda yang bisa dipegang oleh tangan seperti manusia, batu, kayu dan lainnya) dan bukan benda lathif (benda yang tidak dapat disentuh oleh tangan seperti cahaya, ruh, udara dan lainnya), Allah ada tanpa tempat dan arah dan  tidak berlaku bagi-Nya zaman. Allah adalah pencipta segala sesuatu, benda dan seluruh yang diperbuatnya yang yang dilakukan dengan kehendaknya (ikhtiyariy) maupun perbuatan yang dilakukan dengan tanpa kehendaknya (idhthirary). Allah ta’ala pencipta kebaikan dan keburukan, ketaatan dan kemaksiatan, keimanan dan kekufuran.
Kedua; beriman kapada malaikat, yaitu meyakini bahwa malaikat itu ada, mereka adalah hamba-hamba Allah yang mulia yang selalu menjalankan perintah Allah dan tidak pernah bermaksiat kepada-Nya. Ketiga; beriman pada kitab-kitab Allah, bahwa Allah menurunkan kitab-kitab-Nya kepada sebagian para nabi-Nya. Keempat, beriman pada para rasul Allah, bahwa Allah mengutus para Rasul dan para Nabi untuk memberikan kabar gembira orang-orang yang beriman dengan surga dan memberikan peringatakan kepada orang-orang kafir dengan siksa di neraka, nabi yang pertama adalah Adam –‘alaihissalam- dan yang terakhir adalah nabi Muhammad –shallallahu ‘alaihi wasallam-. Kelima, beriman pada hari akhir, yaitu keyakinan adanya kehidupan akhirat dan hal-hal yang akan terjadi di sana seperti ba’ts, hisab, mizan, shirath, surga, neraka dan lainnya. Keenam, beriman pada qadar, yakni keyakinan bahwa semua yang menimpa manusia berupa kebaikan ataupun keburukan adalah ciptaan dan taqdir (ketentuan) Allah. Sesuatu di alam semesta ini tidak terjadi kecuali dengan ketentuan Allah ta’ala.
Sedangkan furu’ al akidah adalah permasalahan-permasalahan akidah selain enam perkara di atas, seperti  tentang melihatnya Rasulullah pada dzat Allah pada malam Isra’ dan Mi’raj, apakah dengan mata kepala atau dengan hati. Sebagian sahabat seperti Ibnu Abbas dan Abu Dzar al Ghifari berpendapat bahwa Nabi melihat Allah pada malam Isra dan Mi’raj, sedangkan sahabat yang lain seperti sayyidah Aisyah dan Ibnu Mas’ud berpendapat bahwa Nabi tidak melihat dzat Allah pada malam tersebut.
Perbedaan antara Asy’ariyah dan Maturidiyah adalah sebagaimana perbedaan pendapat yang terjadi pada masa sahabat. Di antara perbedaan di antara mereka adalah:
1.      Sifat at Takwin
Diantara perbedaan antara Asy’ariyah dan Maturidiyah adalah tentang sifat at takwin/ sifat al fi’li. Yaitu sifat-sifat yang Allah disifati dengannya dan juga dengan sifat-sifat yang kebalikannya, seperti ihya’ (menghidupkan) dan imatah (mematikan), is’ad (memberikan kebahagian) dan isyqa’ (memberikan kecelakaan) dan seterusnya. Asy’ariyah mengatakan bahwa at takwin adalah atsar (pengaruh) dari sifat Qudrah Allah yang azali, sedangkan Maturidiyyah berpendapat bahwa at Takwin adalah salah satu sifat Allah yang azali.
Apabila diamati dengan seksama, sebenarnya perbedaan antara keduanya dalam masalah ini adalah hanya dalam pengungkapannya saja, namun substansinya tidak berbeda. Sebab baik Asy’ariyah maupun Maturidiyah bersepakat bahwa sifat dzat Allah seluruhnya azali dan abadi (tidak ada permulaan dan tidak ada akhirnya).
Mayoritas Asy’ariyah berpendapat bahwa sifat-sifat tersebut bukan sifat yang tetap pada dzat Allah pada azal, tetapi at takwin adalah atsar (pengaruh) dari sifat qudrah Allah ta’ala yang azali. Sebab dengan sifat qudrah-Nya, Allah menciptakan makhluk dan meniadakannya.
Sedangkan Maturidiyah berpendapat bahwa sifat at takwin sebagaimana juga sifat ad dzat adalah azaliyah/qadimah. Pendapat ini juga menjadi pendapat imam Abu Hanifah dan al Bukhari. Abu Hanifah dalam kitab al fiqh al akbar mengatakan:
والْفِعْلُ صِفَتُهُ فِي اْلأَزَلِ، وَاْلمَفْعُوْلُ مَخْلُوْقٌ، وَفِعْلُ اللهِ تَعَالَى غَيْرُ مَخْلُوْقٍ
“Dan perbuatan Allah adalah sifatnya pada azal sedangkan obyek yang dibuatnya adalah makhluk, perbuatan Allah bukan makhluk”[2]

Al Bukhari dalam kitab shahihnya dalam kitab at tauhid mengatakan:
بَابُ مَا جَاءَ فِي تَخْلِيْقِ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَغَيْرِهِمَا مِنَ اْلخَلَائِقِ وَهُوَ فِعْلُ الرَّبَِّ تَبَارَكَ وَتَعَالَى وَأَمْرُهُ فَالرَّبُّ بِصِفَاتِهِ وَفِعْلِهِ وَأَمْرِهِ وَهُوَ الْخَالِقُ اْلمُكَوِّنُ غَيْرُ مَخْلُوْقٍ ، وَمَا كَانَ بِفِعْلِهِ وَأَمْرِهِ وَتَخْلِيْقِهِ وَتَكْوِيْنِهِ فَهُوَ مَفْعُوْلٌ مَخْلُوْقٌ مُكَوَّنٌ
“Bab tentang hadits-hadits yang menerangkan penciptaan langit dan bumi dan makhluk lainnya bahwa hal itu adalah perbuatan Tuhan tabaraka wata’ala dan amrnya, Tuhan dengan sifat-sifatNya dan perbuatannya dan amrnya adalah pencipta bukan makhluk, sedangkan sesuatu yang terjadi dengan perbuatan, amar dan penciptaannya adalah obyek yang diciptakan dan makhluk” 
           
Sebagian orang menyangka bahwa pendapat bahwa sifat at takwin Allah itu azali sebagaimana dikatakan oleh Maturidiyah berimplikasi pada pendapat  bahwa sifat makhluk yang diciptakan juga azaliah. Ini adalah kekeliruan, sebab menciptakan, mengadakan adalah sifat Khaliq (Allah) bukan sifat makhluk. Dan bahwa makhluk itu menjadi makhluk dengan penciptaan Allah. Karena makhluk itu terjadi dengan penciptaan yaitu penciptaan al Khaliq (Allah) sehingga ia menjadi yang pertama dan makhluk menjadi yang kedua.
2.     Hukum al amnu wa al iyas
Perbedaan kedua antara Asy’ariyah dan Maturidiyah adalah tentang al amnu min makrillah dan al iyas min rahmatillah. Menurut Asy’ariyah, orang yang melakukannya terjerumus pada dosa besar saja, sedangkan Maturidiyah berpendapat bahwa keduanya dapat mengeluarkan pelakunya dari Islam, yakni kafir.
Menurut Asy’ariyah al amnu min makrillah artinya apabila seseorang mengikat dalam hatinya perasaan bahwa Allah tidak akan mengadzabnya, tetapi Allah akan merahmatinya padahal dia mengetahui bahwa dirinya terus menerus melakukan dosa. Sedangkan al yaksu min rahmatillah menurut mereka artinya adalah apabila seseorang mengikat perasaan dalam hatinya bahwa Allah tidak  mengampuni dan tidak merahmatinya.
Berbeda dengan Maturidiyah, mereka mengatakan bahwa al amnu min makrillah artinya apabila seseorang merasa aman dari adzab Allah karena prasangkanya bahwa Allah tidak mampu untuk menyiksanya dan tidak mampu melaksanakan ancamannya. Sedangkan al ya’su min rahmatillah   menurut mereka adalah adalah apabila seseorang berputus asa terhadap rahmat Allah karena prasangkanya bahwa Allah tidak mampu untuk merahmatinya.
Perbedaan antara kedua golongan ini apabila diperhatikan dengan seksama, maka dapat disimpulkan bahwa perbedaan antara keduanya adalah pada definisi tentang al amnu min makrillah dan al iyas min rahmatillah tidak pada substansinya. Artinya, apabila Asy’ariyah mendefinisikan keduanya seperti definisi Maturidiyah maka mereka akan berpendapat seperti pendapat Maturidiyah, bahwa hukumnya kufur. Sebaliknya, apabila Maturidiyah mendefinisikan kedua masalah tersebut dengan definisi Asy’ariyah tentu mereka akan berpendapat sama dengan Asy’ariyah bahwa hukumnya dosa besar dan bukan kufur.


[1] HR al Bukhari dalam kitab shahihnya, kitab al iman, bab su ali Jibril an Nabiyya ‘ab al iman wal islam wal ihsan wa I;m as sa’ah wa bayanun Nabi lahu
[2]

Sejarah Perkembangan


Sejarah perkembangan Ahlussunnah Wal jama’ah
Telah dijelaskan di atas bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah adalah golongan yang mengikuti  Rasulullah dan para sahabatnya dalam pokok-pokok akidahnya. Bahwa Allah ta’ala adalah satu-satunya Dzat yang disembah dengan benar, tidak ada sekutu baginya baik dzat, sifat maupun perbuatannya, pencipta segala sesuatu dan tidak serupa dengan ciptaan Nya.
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa ajaran Ahlussunnah Wal Jama’ah pada hakikatnya adalah ajaran seluruh nabi, sejak nabi pertama Adam sampai dengan nabi terakhir sayyidina Muhammad –‘alaihimusholatu wassalam-. Sebab seluruh para nabi tersebut mengajak umatnya untuk hanya memeluk agama Islam.  Allah ta’ala berfirman:
 وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْـرَ اْلإِسْلاَمِ دِيْنًا فَلَنْ يَقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي اْلآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِيْنَ
 “Orang yang mencari agama selain Islam (untuk dipeluknya), maka tidak akan diterima darinya (agama yang dipeluknya itu) oleh Allah, dan di akhirat ia termasuk orang-orang yang merugi”.[1] 

Dalam ayat yang lain, Allah ta’ala berfirman:
إِنَّ الدِّيْنَ عِنْدَ اللهِ اْلإسْلاَمُ
 “Sesungguhnya agama yang benar menurut Allah hanyalah Islam”.[2]  

Dalam sebuah hadits Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
الأَنْبِيَاءُ إِخْوَةٌ لِعَلاَت دِيْنُهُمْ وَاحِدٌ وَأُمَّهَاتُهُمْ شَتىَّ

“Para nabi itu saudara satu ayah lain ibu; agama mereka satu (Islam) dan ibu-ibu (syari’at) mereka berbeda-beda”[3]

Pada zaman dahulu, seluruh umat manusia memeluk satu agama yaitu Islam, kamudian barulah terjadi kekufuran dan perbuatan syirik kepada Allah setelah zaman Nabi Idris –‘alaihissalam-. Nabi Nuh –‘alaihissalam- adalah nabi pertama yang diutus oleh Allah kepada orang-orang kafir untuk masuk dalam agama Islam kembali setelah seribu tahun lamanya (jahiliyah pertama) mereka dalam kekufuran.
Demikian juga Nabi Muhammad –shallallahu ‘alaihi wasallam-, beliau datang untuk memperbaharui dakwah Islam setelah terputus keberadaannya di tengah-tengah umat manusia di bumi ini selama 500 tahun lamanya (Jahiliyyah kedua). Beliau dibekali dengan beberapa mukjizat yang menjadi bukti kenabiannya. Sehingga sbagian umat manusia masuk Islam, namun sebagian yang lain karena kesombongannya, mereka mengingkari kenabian beliau, meskipun mereka telah melihat mukjizat Rasulullah. Namun ada juga di antara orang-orang Yahudi dan Nashrani yang tunduk dan beriman, seperti; Abdullah bin Salam (seorang ulama Yahudi di Madinah), Ash-hamah an-Najasyi (raja Habasyah) yang dulunya adalah seorang nashrani, namun ia tunduk dan ikut pada ajaran Nabi Muhammad, dan akhirnya meninggal pada saat Rasulullah masih hidup. Pada saat ia meninggal Rasulullah menshalatinya (shalat ghaib), setelah Allah ta’ala mewahyukan kepadanya tentang kematiannya. Dan ternyata, di atas kuburan Ash-hamah ini sering terlihat cahaya, ini merupakan bukti bahwa ia adalah seorang muslim yang sempurna dan termasuk wali Allah.         
Selama Rasulullah masih hidup tidak ada penyimpangan sedikitpun dalam masalah akidah. Karena setiap ada persoalan dapat langsung ditanyakan kepada Nabi. Keadaan seperti ini bertahan sampai pada masa khalifah Abu Bakar as Shiddiq dan khalifah Umar –radhiyallahu ‘anhuma-. Pada masa khalifah Utsman bin Affan –radhiyallahu ‘anhu- mulai muncul benih-benih perpecahan dalam Islam, dan berakhir dengan terbunuhnya sayyidina Utsman. Perpecahan di tubuh umat Islam semakin membesar pada masa Sayyidina Ali –karramallahu wajhah-. Pada masa akhir kekhilafahan beliau, muncul kelompok-kelompok yang menyimpang dari akidah sayyidina Ali –Ahlussunnah Wal Jama’ah-, di antaranya adalah Khawarij yang mengkafirkan Ali, Utsman, Mu’awiyah, Aisyah, Thalhah, Zubair, Amr ibn al Ash, Abu Musa al Asy’ari dan semua orang yang setuju dengan tahkim. Mereka juga mengkafirkan setiap orang yang berhukum dengan selain hukum Allah secara mutlak. Pada waktu bersamaan muncul juga kelompok syi’ah; sebuah kelompok yang terlampau berlebih-lebihan (ghuluw) dalam memuji dan mensifati sayyidina Ali dan membenci semua khalifah sebelumnya -Abu Bakar as Shiddiq, Umar ibn al Khaththab dan Utsman bin Affan-.
Selanjutnya setelah tahun 260 H semakian banyak bermunculan sekte-sekte yang mengajarkan akidah yang bertentangan dengan akidah Ahlussunnah; akidah Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam-. Mereka diantaranya adalah Qadariyah, Jabriyah, Murjiah, Dahriyah, Mu’tazilah, Musyabbihah, dan lainnya. Pada saat itulah kemudian dua Imam yang agung Abu al Hasan  al Asy’ari (W 324 H) dan Abu Manshur al Maturidi (W 333 H) –radhiyallahu ‘anhuma- menjelaskan aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah yang diyakini Rasulullah, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka, dengan mengemukakan dalil-dalil naqli (nash-nash al Qur’an dan al hadits) dan ‘aqli (argumen rasional) disertai dengan bantahan-bantahan terhadap syubhah-syubhah (sesuatu yang dilontarkan untuk mengaburkan hal yang sebenarnya) sekte-sekte tersebut.
Perkembangan sekte-sekte non Ahlussunnah tersebut, terutama Muktazilah yang semakin kuat pada saat itu, akhirnya dengan hujjah-hujjah yang tidak terbantahkan dapat diberantas dan dihilangkan pengaruhnya oleh dua imam Ahlussunnah Wal Jama’ah tersebut. Dan mengingat jasa yang begitu sangat besar dari kedua imam tersebut, sehingga kemudian Ahlussunnah Wal Jama’ah dinisbatkan kepada keduanya. Mereka (Ahlussunnah) akhirnya dikenal dengan nama al Asy’ariyyun (para pengikut al Asy’ari) dan al Maturidiyyun (para pengikut al Maturidi).
Sebelumnya, usaha untuk membantah dan memerangi ahli bid’ah juga telah dilakukan oleh para sahabat. Sayyidina Ali –radhiyallahu ‘anhu- membantah golongan Khawarij dengan hujjah-hujjahnya. Beliau juga membungkam salah seorang pengikut ad-Dahriyyah (golongan yang mengingkari adanya pencipta alam ini). Dengan hujjahnya pula, beliau mengalahkan empat puluh orang Yahudi yang meyakini bahwa Allah adalah jism (benda).  Beliau juga membantah orang-orang Mu’tazilah. Ibnu Abbas –radhiyallahu ‘anhu- juga berhasil membantah golongan Khawarij dengan hujjah-hujjahnya. Ibnu Abbas, al Hasan ibn ‘Ali, ‘Abdullah ibn ‘Umar  -radhiyallahu ‘anhum- juga telah membantah kaum Mu’tazilah. Dari kalangan Tabi’in; al Imam al Hasan al Bishri, al Imam al Hasan ibn Muhammad Ibn al Hanafiyyah cucu sayyidina ‘Ali, dan khalifah ‘Umar ibn Abd al 'Aziz -radhiyallahu ‘anhum- juga telah membantah kaum Mu’tazilah.  Dan masih banyak lagi ulama-ulama salaf lainnya, terutama al Imam asy-Syafi’i -radhiyallahu-, beliau sangat mumpuni dalam ilmu aqidah, demikian pula al Imam Abu Hanifah, al Imam Malik dan al Imam Ahmad -radhiyallahu ‘anhum-  sebagaimana dituturkan oleh al Imam Abu Manshur al Baghdadi (W 429 H) dalam Ushul ad-Din,  al Hafizh Abu al Qasim ibn ‘Asakir (W 571 H) dalam Tabyin Kadzib al Muftari, al Imam az-Zarkasyi (W 794 H) dalam Tasynif al Masami’ dan al 'Allaamah al Bayadli  (W 1098 H)  dalam Isyarat  al Maram dan lain-lain.
Telah banyak para ulama yang menulis kitab-kitab khusus mengenai penjelasan aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah seperti Risalah al 'Aqidah ath-Thahawiyyah karya al Imam as-Salafi Abu Ja’far ath-Thahawi (W 321 H), kitab al ‘Aqidah an-Nasafiyyah karangan al Imam ‘Umar an-Nasafi (W 537 H), al ‘Aqidah al Mursyidah karangan al Imam Fakhr ad-Din ibn ‘Asakir (W 630 H), al 'Aqidah ash-Shalahiyyah yang ditulis oleh al Imam Muhammad ibn Hibatillah al Makki (W 599 H); beliau menamakannya Hadaiq al Fushul wa Jawahir al Ushul, kemudian menghadiahkan karyanya ini kepada sulthan  Shalahuddin al Ayyubi (W 589 H) -radhiyallahu ‘anhu-, beliau sangat tertarik dengan buku tersebut sehingga memerintahkan untuk diajarkan sampai kepada anak-anak kecil di madrasah-madrasah, sehingga buku tersebut kemudian dikenal dengan sebutan al 'Aqidah ash-Shalahiyyah.
          Sulthan Shalahuddin adalah seorang ‘alim  yang bermadzhab Syafi’i, mempunyai perhatian khusus dalam menyebarkan al 'Aqidah as-Sunniyyah. Beliau memerintahkan para muadzdzin untuk mengumandangkan al 'Aqidah as-Sunniyyah di waktu tashbih (sebelum adzan Shubuh) pada setiap malam di Mesir, seluruh negara Syam (Syiria, Yordania, Palestina dan Lebanon), Mekkah dan Madinah, sebagaimana dikemukakan oleh al Hafizh as-Suyuthi (W 911 H) dalam al Wasa-il ila Musamarah al Awa-il dan lainnya.


[1] Q.S. Al 'Imran : 85
[2] Q.S. Al 'Imran : 19
[3]

Selasa, 08 Oktober 2013

Akhlak Tasawuf

Keagungan Akhlak Mulia
Asy’ari Masduki, MA

Keutamaan Akhlak Mulia
Selain akidah, Rasulullah juga mengemban misi membenahi akhlak umat manusia. Rasulullah -‘alaihissalam-bersabda:
إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ اْلأَخْلَاقِ
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”(H.R al Baihaqi)
Orang yang berakhlak mulia dijamin dengan surga oleh Rasulullah. Beliau bersabda:
أَنَا زَعِيْمٌ بِبَيْتٍ فِيْ أَعْلَى اْلجَنَّةِ لِمَنْ حَسَّنَ خُلُقَهُ
“Aku jamin dengan sebuah rumah di surga yang paling tinggi bagi orang yang memperbaiki akhlaknya”. (HR al Baihaqi)
Kedudukan orang yang berakhlak mulia sangat tinggi. Rasulullah  bersabda:
إِنَّ الرَّجُلَ لَيَبْلُغُ بِحُسْنِ خُلُقِهِ دَرَجَةَ الصَّائِمِ اْلقَائِمِ
“Sesungguhnya dengan kemulian akhlaknya, seseorang benar-benar  dapat sampai pada derajat orang yang berpuasa sunnah terus menerus pada siang hari dan derajat orang yang shalat sunnah terus menerus setiap malam” (HR al Baihaqi)

Kriteria Akhlak Mulia
Pada prinsipnya seseorang dianggap telah berakhlak mulia apabila telah melakukan tiga kriteria berikut:
1.      Berbuat baik kepada siapa pun, orang yang dikenalnya maupun yang tidak dikenalnya, orang yang baik terhadapnya maupun yang jahat terhadapnya.
Berbuat baik tanpa pandang bulu ini hanya mungkin dilakukan oleh seseorang yang dalam berbuat baik hanya mengharapkan ridha Allah, bukan mengharap imbalan manusia.
2.       Mengekang hawa nafsu dari berbuat jahat terhadap orang lain. Ia harus mengekang tangan,  lisan dan  semua anggota badannya dari perbuatan maupun ucapan yang dapat menyakiti hati dan fisik orang lain. Dalam sebuah hadits Rasulullah bersabda:
اْلمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ اْلمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
“Seorang muslim yang sempurna adalah apabila umat Islam selamat dari perlakuan jahat lisan dan tagannya”.(H.R al Bukhari, Muslim dan lainnya)
3. Bersabar ketika mendapatkan perlakuan jahat dari orang lain. Ia harus mampu mengekang hawa nafsunya untuk tidak membalas perlakuan jahat orang lain kepadanya. Sebaliknya berusaha untuk  membalas perbuatan jahat dengan perbuatan baik. Tentang akhlak yang paling mulia, Rasulullah bersabda:
تَصِلُ مَنْ قَطَعَكَ وَتُعْطِي مَنْ حَرَمَكَ وَتَعْفُوْ عَمَّنْ ظَلَمَكَ
“Yaitu menyambung tali silaturrahim orang yang memutus tali silaturrahim denganmu, memberikan sesuatu orang yang tidak sudi memberimu sesuatu dan memberi maaf orang yang mendzalimimu” (H.R ath Thabarani)
Kunci Akhlak Mulia
Selanjutnya, untuk dapat  melaksanakan ketiga kriteria tersebut paling tidak seseorang harus melakukan dua hal, yaitu:
1.     Meredam emosi, sebab ketika seseorang marah maka akalnya tidak akan dapat menguasai dirinya; tangannya akan memukul, kakinya akan menendang, lisannya akan mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas diucapkan yang dapat menyakiti hati orang lain, dan hal itu bertentangan dengan kriteria akhlak mulia.     
2.          Memperbanyak diam, sebab kebanyakan kesalahan manusia bersumber dari lisannya. Rasulullah bersabda:
أَكْثَرُ خَطَايَا ابْنِ آدَمَ مِنْ لِسَانِهِ
“Kebanyakan kesalahan manuasia adalah dari lisannya”
MENGENAL AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH
Definisi Ahlussunnah Wal Jama’ah

Umat Islam telah bersepakat bahwa Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah golongan yang selamat (al firqah an najiyah). Karena itu setiap sekte dalam Islam selalu mengklaim bahwa kelompok merekalah yang berhak disebut dengan Ahlussunnah Wal Jama’ah. Padahal definisi Ahlussunnah wal Jama’ah sebenarnya telah dijelaskan oleh Rasulullah sendiri. Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِيْ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلَّا مِلَّةً وَاحِدَةً قَالُوْا وَمَنْ هِيَ يَا رَسُوْلَ اللهِ قَالَ مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِيْ
“Dan umatku akan terpecah menjadi 73 golongan, seluruhnya di neraka kecuali satu golongan. Para sahabat bertanya siapa satu golongan itu wahai Rasulullah? Rasulullah bersabda: golongan yang mengikuti ajaranku dan para sahabatku”[1]

Berdasarkan hadits ini dapat kita simpulkan bahwa Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah umat Islam yang mengikuti ajaran Rasulullah dan para sahabatnya baik dalam masalah akidah maupun ahkam. Namun lagi-lagi setiap sekte mengklaim diri sebagai golongan yang mengikuti ajaran Rasulullah dan para sahabatnya. Sehingga membuat kebingungan pada orang –orang yang masih awam. Meskipun sebenarnya definisi Ahlussunnah Wal Jama’ah di atas telah ditafsirkan oleh Rasulullah sendiri dalam hadits lain dari Mu’awiyah yang diriwayatkan oleh Abu Dawud. Rasulullah bersabda:
وَإِنَّ هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِينَ ثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِى النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِى الْجَنَّةِ وَهِىَ الْجَمَاعَة
“Dan sesungguhnya agama ini akan terpecah belah menjadi 73, 72 di neraka dan satu di surga yaitu al Jama’ah”[2]

Senada dengan hadits tersebut, Rasulullah -shallallahu ‘alayhi wasallam- juga bersabda:
 فَمَنْ أَرَادَ بُحْبُوْحَةَ الْجَنَّةَ فَلْيَلْزَمِ الْجَمَاعَةَ
 "…maka barang siapa yang menginginkan tempat lapang di surga hendaklah berpegang teguh pada al Jama’ah”.[3]
                                                                                                                                
Makna al Jama’ah dalam dua hadits di atas adalah al Jumhur (mayoritas umat Islam) dan bukan shalat Jama’ah –sebagaimana dikatakan oleh sebagian orang-. Hal ini dapat dipahami dari hadits lain, Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
إِنَّ أُمَّتِي لاَ تَجْتَمِعُ عَلَى ضَلَالَةٍ . فَإِذَا رَأَيْتُم اخْتِلَافًا فَعَلَيْكُمْ بِالسَّوَادِ اْلأَعْظَمِ

“Sesungguhnya umatku tidak akan berkumpul pada kesesatan, maka apabila kalian melihat perselisihan maka bergabunglah dengan mayoritas umat”

Berdasarkan hadits-hadits di atas dapat dikatakan bahwa Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah golongan mayoritas umat Muhammad. Karena akidah golongan mayoritas umat Islam mendapatkan jaminan kebenarannya dari Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam-. Dalam hadits lain Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
إِنَّ اللهَ لاَ يَجْمَعُ أُمَّتِي أَوْ قَالَ أُمَّةُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ عَلَى ضَلاَلَةٍ وَيَدُ اللهَِ مَعَ اْلجَمَاعَةِ وَمَنْ شَذَّ شَذَّ إلَى النَّارِ
“Sesungguhnya Allah tidak mengumpulkan umatku (atau beliau mngatakan umat Muhammad -shallallahu ‘alaihi wasallam-) pada kesesatan dan pertolongan Allah bersama al Jama’ah (mayoritas umat) dan barang siapa yang menyempal maka ia menyempal ke neraka”[4]

Kemudian sejarah telah membuktikan bahwa mayoritas umat Muhammad pada setiap generasi dari dahulu hingga sekarang adalah Asy’ariyah (orang-orang yang mengikuti Abul Hasan al Asy’ari) dan Maturidiyah (orang-orang yang mengikuti Abu Manshur al Maturidi). Akidah Asy’ariyah dan Maturidiyah dianut oleh umat Islam di seluruh dunia Islam seperti Indonesia, Malaysia, Mesir, Brunai Darussalam, Suria, Lebanon, Yordania, Palestina, Maroko, Libya dan seterusnya. Dengan demikian sangat tepat apabila al Hafizh Murtadla az-Zabidi (W 1205 H) dalam kitabnya Ithaf as Sadah al Muttaqin syarh Ihya Ulumiddin  juz II hlm. 6, menyimpulkan bahwa Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah Asy’ariyah dan Maturidiyah, beliau mengatakan:
 الفَصْلُ الثَّانِي : إِذَا أُطْلِقَ أَهْلُ السُّنَّةِ وَاْلجَمَاعَةِ فَالْمُرَادُ بِهِمْ اْلأَشَاعِرَةُ وَاْلمَاتُرِيْدِيَّّةُ
“Pasal Kedua: "Jika dikatakan Ahlussunnah Wal Jama’ah maka yang dimaksud adalah al Asy’ariyyah dan al Maturidiyyah”.

Seluruh ulama dalam madzhab Syafi’i, Maliki, Hanafi dan orang-orang utama dari madzhab Hanbali (Fudhala’ al Hanabilah) adalah Asy’ariyah dan Maturidiyah. Demikian juga mayoritas ulama dalam semua disiplin ilmu seperti mutakallimin, muhadditsin, shufiyun, ushuliyyun, mufassirun dan  juga mayoritas para khalifah dan sultan. Mereka seperti al Khatib al Baghdadi, al Hafidz ad Daruquthni, Abdul Basith a Fakhuri, Ibnu Hajar al Asqalani, al Imam ar Rifa’I, al Hafidz al Iraqi, Abu Bakar Ibn Furak, Abul Hasan al Bahili, al Qadhi Abdul Wahhab al Maliki,Abul Qasim al Qusyairi, Zakariya al Anshari, al Ghazali, al Qadhi Iyad, Ibnu Aqil al Hanbali, al Hafidz al Alai, Abu Bakar al Bakilani, al Imam al Juwaini, Taqiyuddin as Subki, Fakhruddin Ibn Asakir, al Hafidz az Zabidi, Sultan al Fatih, Sultan Shalahuddin al Ayyubi dan lainnya tidak terhitung banyaknya.
Kebenaran akidah Asy’ariyah selain dibuktikan dengan dianutnya akidah tersebut oleh mayoritas umat Islam. Kebenarannya juga telah diisyaratkan oleh Rasulullah ketika turun firman Allah ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ مَن يَرْتَدَّ مِنكُمْ عَن دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللّهِ وَلاَ يَخَافُونَ لَوْمَةَ لآئِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ اللّهِ يُؤْتِيهِ مَن يَشَاءُ وَاللّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah Lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui”.

Ketika turun ayat ini, Rasulullah menunjuk pada sahabat Abu Musa al Asy’ari seraya mengatakan: “mereka adalah kaumnya ini”. Padahal Abul Hasan al Asy’ari adalah keturunan dari sahabat Abu Musa al Asy’ari. Dengan demikian para pengikut Abul Hasan al Asy’ari (Asy’ariyah) adalah kaum yang dimaksud dalam ayat di atas, yaitu kaum yang mencintai Allah dan dicintai oleh Allah.[5]
Sedangkan kebenaran akidah Maturidiyah juga telah diisyaratkan oleh Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam- beliau bersabda:
لَتُفْتَحَنَّ اْلقِسْطِنْطِيْنِيَّةُ فَلَنِعْمَ اْلأَمِيْرُ أَمِيْرُهَا وَ لَنِعْمَ اْلجَيْشُ ذَلِكَ اْلجَيْشُ
“Benar-benar Konstantinopel akan ditakhlukkan, maka sebaik-baik pemimpin adalah pemimpinnya dan sebaik-baik tentara adalah tentara tersebut”[6]

Sejarah telah membuktikan bahwa kota Konstantinopel baru berhasil ditaklukkan 800 tahun setelah masa Rasulullah, setelah beberapa kali dilakukan uji coba oleh para khalifah, namun gagal. Konstantinopel berhasil ditakhlukkan oleh Sultan Muhammad al Fatih yang berakidah Maturidi dan bala tentaranya yang sebagian Maturidiyah dan sebagian yang lain Asy’ariyah. Mereka meyakini bahwa Allah ada tanpa tempat, mereka bertabaruk dengan para wali. Menjelang kemenangan umat Islam Sultan Muhammad memerintahkan kepada menterinya untuk datang ke perkemahan seorang wali yang shalih untuk mencari berkah, dan akhirnya umat Islam menuai kemenangan besar. Pujian Rasulullah dalam hadits tersebut membuktikan kebenaran akidah yang dianut oleh sultan Muhammad al Fatih dan bala tentaranya, karena tidak mungkin Rasulullah memuji seseorang yang akidahnya salah dan sesat.



[1] At Tirmidzi, Sunan at Tirmidzi, Bab Iftiraqul Ummah (Bairut: Dar Ihya at Turats al Arabi), juz 5, hal.26
[2] HR Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, kitab as Sunnah, Bab Syarh as Sunnah
[3] (Hadits ini dishahihkan oleh al Hakim, dan at-Tirmidzi mengatakan  hadits hasan shahih)
[4] HR at Tirmidzi, Sunan at Tirmidzi, Bab Luzumu al Jama’ah, juz 4, hal, 466
[5]
[6]  HR Ahmad dan al Hakim