Perbedaan antara
Asy’ariyah dan Maturidiyah
Telah dijelaskan bahwa Ahlussunnah Wal
Jama’ah adalah para pengikut Abul Hasan al Asy’ari yang disebut dengan Asy’ariyah
atau Asya’irah dan para pengikut Abu Manshur al Maturidi yang disebut
dengan Maturidiyah. Keduanya disebut Ahlussunnah Wal
Jama’ah karena dalam prinsip-prinsip akidah memiliki kesamaan. Sehingga
boleh dikatakan bahwa Asy’ariyah adalah Maturidiyah dan Maturidiyah adalah Asy’ariyah.
Perbedaan di antara keduanya hanyalah dalam sebagian kecil permasalahan furu’
(cabang, bukan prinsip) akidah. Berbeda halnya perbedaan antara Ahlussunnah
dengan Musyabbihah Qadariyah, Jabriyah, Murjiah. Perbedaan dengan mereka adalah dalam ushul
al akidah (prinsip akidah).
Perlu diketahui bahwa permasalahan akidah
terbagi menjadi dua macam; ushul (pokok-pokok) akidah dan furu’ (cabang-cabang)
akidah. Perbedaan pendapat dalam ushul akidah dapat mengeluarkan
penentangnya keluar dari al firqah an Najiyah (Ahlussunnah Wal
Jama’ah), sedangkan perbedaan pendapat dalam furu’ al aqidah tidak
menjadikan salah satunya keluar dari golongan Ahlussunnah Wal Jama’ah.
Ushul al Akidah adalah dasar-dasar keimanan yang enam
sebagaimana dijelaskan dalam hadits Jibril. Rasulullah -shallallahu ‘alaihi
wasallam- bersabda:
الاِيْمَانُ أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ رَسُلُِهِ
وَاْليَوْمِ الآخِرِ وَاْلقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ
“Iman
adalah apabila kamu beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya,
Rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan qadar yang baik dan yang buruk”[1]
Berdasarkan hadits tersebut ushul
akidah ada enam perkara. Pertama, beriman kepada Allah; yaitu bahwa Allah
ada tanpa ada keraguan, tida ada yang disembah dengan benar kecuali hanya Allah. Allah
tidak serupa dengan makhluk-Nya, Ia bukan benda katsif (benda yang bisa
dipegang oleh tangan seperti manusia, batu, kayu dan lainnya) dan bukan benda lathif
(benda yang tidak dapat disentuh oleh tangan seperti cahaya, ruh, udara dan
lainnya), Allah ada tanpa tempat dan arah dan
tidak berlaku bagi-Nya zaman. Allah adalah pencipta segala sesuatu,
benda dan seluruh yang diperbuatnya yang yang dilakukan dengan kehendaknya (ikhtiyariy)
maupun perbuatan yang dilakukan dengan tanpa kehendaknya (idhthirary). Allah
ta’ala pencipta kebaikan dan keburukan, ketaatan dan kemaksiatan, keimanan dan kekufuran.
Kedua; beriman kapada malaikat, yaitu
meyakini bahwa malaikat itu ada, mereka adalah hamba-hamba Allah yang mulia
yang selalu menjalankan perintah Allah dan tidak pernah bermaksiat kepada-Nya.
Ketiga; beriman pada kitab-kitab Allah, bahwa Allah menurunkan kitab-kitab-Nya
kepada sebagian para nabi-Nya. Keempat, beriman pada para rasul Allah, bahwa
Allah mengutus para Rasul dan para Nabi untuk memberikan kabar gembira
orang-orang yang beriman dengan surga dan memberikan peringatakan kepada
orang-orang kafir dengan siksa di neraka, nabi yang pertama adalah Adam –‘alaihissalam-
dan yang terakhir adalah nabi Muhammad –shallallahu ‘alaihi wasallam-.
Kelima, beriman pada hari akhir, yaitu keyakinan adanya kehidupan akhirat dan
hal-hal yang akan terjadi di sana seperti ba’ts, hisab, mizan, shirath,
surga, neraka dan lainnya. Keenam, beriman pada qadar, yakni keyakinan
bahwa semua yang menimpa manusia berupa kebaikan ataupun keburukan adalah
ciptaan dan taqdir (ketentuan) Allah. Sesuatu di alam semesta ini tidak
terjadi kecuali dengan ketentuan Allah ta’ala.
Sedangkan furu’ al akidah adalah
permasalahan-permasalahan akidah
selain enam perkara di atas, seperti
tentang melihatnya Rasulullah pada dzat Allah pada malam Isra’ dan
Mi’raj, apakah dengan mata kepala atau dengan hati. Sebagian sahabat seperti
Ibnu Abbas dan Abu Dzar al Ghifari berpendapat bahwa Nabi melihat Allah pada
malam Isra dan Mi’raj, sedangkan sahabat yang lain seperti sayyidah Aisyah dan
Ibnu Mas’ud berpendapat bahwa Nabi tidak melihat dzat Allah pada malam
tersebut.
Perbedaan antara Asy’ariyah dan Maturidiyah
adalah sebagaimana perbedaan pendapat yang terjadi pada masa sahabat. Di antara
perbedaan di antara mereka adalah:
1. Sifat at
Takwin
Diantara perbedaan antara Asy’ariyah dan
Maturidiyah adalah tentang sifat at takwin/ sifat al fi’li. Yaitu
sifat-sifat yang Allah disifati dengannya dan juga dengan sifat-sifat yang
kebalikannya, seperti ihya’ (menghidupkan) dan imatah
(mematikan), is’ad (memberikan kebahagian) dan isyqa’ (memberikan
kecelakaan) dan seterusnya. Asy’ariyah mengatakan bahwa at takwin adalah
atsar (pengaruh) dari sifat Qudrah Allah yang azali, sedangkan Maturidiyyah
berpendapat bahwa at Takwin adalah salah satu sifat Allah yang azali.
Apabila diamati dengan seksama,
sebenarnya perbedaan antara keduanya dalam masalah ini adalah hanya dalam pengungkapannya
saja, namun substansinya tidak berbeda. Sebab baik Asy’ariyah maupun
Maturidiyah bersepakat bahwa sifat dzat Allah seluruhnya azali dan abadi (tidak
ada permulaan dan tidak ada akhirnya).
Mayoritas Asy’ariyah berpendapat bahwa
sifat-sifat tersebut bukan sifat yang tetap pada dzat Allah pada azal, tetapi at
takwin adalah atsar (pengaruh) dari sifat qudrah Allah ta’ala
yang azali. Sebab dengan sifat qudrah-Nya, Allah menciptakan makhluk dan
meniadakannya.
Sedangkan Maturidiyah berpendapat bahwa sifat
at takwin sebagaimana juga sifat ad dzat adalah azaliyah/qadimah.
Pendapat ini juga menjadi pendapat imam Abu Hanifah dan al Bukhari. Abu Hanifah
dalam kitab al fiqh al akbar mengatakan:
والْفِعْلُ صِفَتُهُ فِي اْلأَزَلِ، وَاْلمَفْعُوْلُ مَخْلُوْقٌ، وَفِعْلُ
اللهِ تَعَالَى غَيْرُ مَخْلُوْقٍ
“Dan perbuatan Allah adalah sifatnya pada
azal sedangkan obyek yang dibuatnya adalah makhluk, perbuatan Allah bukan makhluk”[2]
Al Bukhari dalam kitab shahihnya dalam kitab
at tauhid mengatakan:
بَابُ مَا جَاءَ فِي
تَخْلِيْقِ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَغَيْرِهِمَا مِنَ اْلخَلَائِقِ وَهُوَ فِعْلُ
الرَّبَِّ تَبَارَكَ وَتَعَالَى وَأَمْرُهُ فَالرَّبُّ بِصِفَاتِهِ وَفِعْلِهِ وَأَمْرِهِ
وَهُوَ الْخَالِقُ اْلمُكَوِّنُ غَيْرُ مَخْلُوْقٍ ، وَمَا كَانَ بِفِعْلِهِ وَأَمْرِهِ
وَتَخْلِيْقِهِ وَتَكْوِيْنِهِ فَهُوَ مَفْعُوْلٌ مَخْلُوْقٌ مُكَوَّنٌ
“Bab
tentang hadits-hadits yang menerangkan penciptaan langit dan bumi dan makhluk
lainnya bahwa hal itu adalah perbuatan Tuhan tabaraka wata’ala dan amrnya,
Tuhan dengan sifat-sifatNya dan perbuatannya dan amrnya adalah pencipta bukan
makhluk, sedangkan sesuatu yang terjadi dengan perbuatan, amar dan
penciptaannya adalah obyek yang diciptakan dan makhluk”
Sebagian orang menyangka bahwa pendapat bahwa sifat at
takwin Allah itu azali sebagaimana dikatakan oleh Maturidiyah
berimplikasi pada pendapat bahwa sifat
makhluk yang diciptakan juga azaliah. Ini adalah kekeliruan, sebab menciptakan, mengadakan adalah sifat
Khaliq (Allah) bukan sifat makhluk. Dan bahwa makhluk itu menjadi makhluk
dengan penciptaan Allah. Karena makhluk itu terjadi dengan penciptaan yaitu
penciptaan al Khaliq (Allah) sehingga ia menjadi yang pertama dan makhluk menjadi yang
kedua.
2. Hukum al amnu
wa al iyas
Perbedaan kedua antara Asy’ariyah dan
Maturidiyah adalah tentang al amnu min makrillah dan al iyas min
rahmatillah. Menurut Asy’ariyah, orang yang melakukannya terjerumus pada
dosa besar saja, sedangkan Maturidiyah berpendapat bahwa keduanya dapat
mengeluarkan pelakunya dari Islam, yakni kafir.
Menurut Asy’ariyah al amnu min
makrillah artinya apabila seseorang mengikat dalam hatinya perasaan bahwa
Allah tidak akan mengadzabnya, tetapi Allah akan merahmatinya padahal dia
mengetahui bahwa dirinya terus menerus melakukan dosa. Sedangkan al yaksu
min rahmatillah menurut mereka artinya adalah apabila seseorang mengikat
perasaan dalam hatinya bahwa Allah tidak
mengampuni dan tidak merahmatinya.
Berbeda dengan Maturidiyah, mereka
mengatakan bahwa al amnu min makrillah artinya apabila seseorang merasa
aman dari adzab Allah karena prasangkanya bahwa Allah tidak mampu untuk
menyiksanya dan tidak mampu melaksanakan ancamannya. Sedangkan al ya’su min
rahmatillah menurut mereka adalah adalah apabila seseorang
berputus asa terhadap rahmat Allah karena prasangkanya bahwa Allah tidak mampu
untuk merahmatinya.
Perbedaan antara kedua golongan ini
apabila diperhatikan dengan seksama, maka dapat disimpulkan bahwa perbedaan
antara keduanya adalah pada definisi tentang al amnu min makrillah dan al
iyas min rahmatillah tidak pada substansinya. Artinya, apabila Asy’ariyah
mendefinisikan keduanya seperti definisi Maturidiyah maka mereka akan
berpendapat seperti pendapat Maturidiyah, bahwa hukumnya kufur. Sebaliknya,
apabila Maturidiyah mendefinisikan kedua masalah tersebut dengan definisi
Asy’ariyah tentu mereka akan berpendapat sama dengan Asy’ariyah bahwa hukumnya
dosa besar dan bukan kufur.