fb aswaja center kepung

Jumat, 18 Oktober 2013

Sejarah Perkembangan


Sejarah perkembangan Ahlussunnah Wal jama’ah
Telah dijelaskan di atas bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah adalah golongan yang mengikuti  Rasulullah dan para sahabatnya dalam pokok-pokok akidahnya. Bahwa Allah ta’ala adalah satu-satunya Dzat yang disembah dengan benar, tidak ada sekutu baginya baik dzat, sifat maupun perbuatannya, pencipta segala sesuatu dan tidak serupa dengan ciptaan Nya.
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa ajaran Ahlussunnah Wal Jama’ah pada hakikatnya adalah ajaran seluruh nabi, sejak nabi pertama Adam sampai dengan nabi terakhir sayyidina Muhammad –‘alaihimusholatu wassalam-. Sebab seluruh para nabi tersebut mengajak umatnya untuk hanya memeluk agama Islam.  Allah ta’ala berfirman:
 وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْـرَ اْلإِسْلاَمِ دِيْنًا فَلَنْ يَقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي اْلآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِيْنَ
 “Orang yang mencari agama selain Islam (untuk dipeluknya), maka tidak akan diterima darinya (agama yang dipeluknya itu) oleh Allah, dan di akhirat ia termasuk orang-orang yang merugi”.[1] 

Dalam ayat yang lain, Allah ta’ala berfirman:
إِنَّ الدِّيْنَ عِنْدَ اللهِ اْلإسْلاَمُ
 “Sesungguhnya agama yang benar menurut Allah hanyalah Islam”.[2]  

Dalam sebuah hadits Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
الأَنْبِيَاءُ إِخْوَةٌ لِعَلاَت دِيْنُهُمْ وَاحِدٌ وَأُمَّهَاتُهُمْ شَتىَّ

“Para nabi itu saudara satu ayah lain ibu; agama mereka satu (Islam) dan ibu-ibu (syari’at) mereka berbeda-beda”[3]

Pada zaman dahulu, seluruh umat manusia memeluk satu agama yaitu Islam, kamudian barulah terjadi kekufuran dan perbuatan syirik kepada Allah setelah zaman Nabi Idris –‘alaihissalam-. Nabi Nuh –‘alaihissalam- adalah nabi pertama yang diutus oleh Allah kepada orang-orang kafir untuk masuk dalam agama Islam kembali setelah seribu tahun lamanya (jahiliyah pertama) mereka dalam kekufuran.
Demikian juga Nabi Muhammad –shallallahu ‘alaihi wasallam-, beliau datang untuk memperbaharui dakwah Islam setelah terputus keberadaannya di tengah-tengah umat manusia di bumi ini selama 500 tahun lamanya (Jahiliyyah kedua). Beliau dibekali dengan beberapa mukjizat yang menjadi bukti kenabiannya. Sehingga sbagian umat manusia masuk Islam, namun sebagian yang lain karena kesombongannya, mereka mengingkari kenabian beliau, meskipun mereka telah melihat mukjizat Rasulullah. Namun ada juga di antara orang-orang Yahudi dan Nashrani yang tunduk dan beriman, seperti; Abdullah bin Salam (seorang ulama Yahudi di Madinah), Ash-hamah an-Najasyi (raja Habasyah) yang dulunya adalah seorang nashrani, namun ia tunduk dan ikut pada ajaran Nabi Muhammad, dan akhirnya meninggal pada saat Rasulullah masih hidup. Pada saat ia meninggal Rasulullah menshalatinya (shalat ghaib), setelah Allah ta’ala mewahyukan kepadanya tentang kematiannya. Dan ternyata, di atas kuburan Ash-hamah ini sering terlihat cahaya, ini merupakan bukti bahwa ia adalah seorang muslim yang sempurna dan termasuk wali Allah.         
Selama Rasulullah masih hidup tidak ada penyimpangan sedikitpun dalam masalah akidah. Karena setiap ada persoalan dapat langsung ditanyakan kepada Nabi. Keadaan seperti ini bertahan sampai pada masa khalifah Abu Bakar as Shiddiq dan khalifah Umar –radhiyallahu ‘anhuma-. Pada masa khalifah Utsman bin Affan –radhiyallahu ‘anhu- mulai muncul benih-benih perpecahan dalam Islam, dan berakhir dengan terbunuhnya sayyidina Utsman. Perpecahan di tubuh umat Islam semakin membesar pada masa Sayyidina Ali –karramallahu wajhah-. Pada masa akhir kekhilafahan beliau, muncul kelompok-kelompok yang menyimpang dari akidah sayyidina Ali –Ahlussunnah Wal Jama’ah-, di antaranya adalah Khawarij yang mengkafirkan Ali, Utsman, Mu’awiyah, Aisyah, Thalhah, Zubair, Amr ibn al Ash, Abu Musa al Asy’ari dan semua orang yang setuju dengan tahkim. Mereka juga mengkafirkan setiap orang yang berhukum dengan selain hukum Allah secara mutlak. Pada waktu bersamaan muncul juga kelompok syi’ah; sebuah kelompok yang terlampau berlebih-lebihan (ghuluw) dalam memuji dan mensifati sayyidina Ali dan membenci semua khalifah sebelumnya -Abu Bakar as Shiddiq, Umar ibn al Khaththab dan Utsman bin Affan-.
Selanjutnya setelah tahun 260 H semakian banyak bermunculan sekte-sekte yang mengajarkan akidah yang bertentangan dengan akidah Ahlussunnah; akidah Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam-. Mereka diantaranya adalah Qadariyah, Jabriyah, Murjiah, Dahriyah, Mu’tazilah, Musyabbihah, dan lainnya. Pada saat itulah kemudian dua Imam yang agung Abu al Hasan  al Asy’ari (W 324 H) dan Abu Manshur al Maturidi (W 333 H) –radhiyallahu ‘anhuma- menjelaskan aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah yang diyakini Rasulullah, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka, dengan mengemukakan dalil-dalil naqli (nash-nash al Qur’an dan al hadits) dan ‘aqli (argumen rasional) disertai dengan bantahan-bantahan terhadap syubhah-syubhah (sesuatu yang dilontarkan untuk mengaburkan hal yang sebenarnya) sekte-sekte tersebut.
Perkembangan sekte-sekte non Ahlussunnah tersebut, terutama Muktazilah yang semakin kuat pada saat itu, akhirnya dengan hujjah-hujjah yang tidak terbantahkan dapat diberantas dan dihilangkan pengaruhnya oleh dua imam Ahlussunnah Wal Jama’ah tersebut. Dan mengingat jasa yang begitu sangat besar dari kedua imam tersebut, sehingga kemudian Ahlussunnah Wal Jama’ah dinisbatkan kepada keduanya. Mereka (Ahlussunnah) akhirnya dikenal dengan nama al Asy’ariyyun (para pengikut al Asy’ari) dan al Maturidiyyun (para pengikut al Maturidi).
Sebelumnya, usaha untuk membantah dan memerangi ahli bid’ah juga telah dilakukan oleh para sahabat. Sayyidina Ali –radhiyallahu ‘anhu- membantah golongan Khawarij dengan hujjah-hujjahnya. Beliau juga membungkam salah seorang pengikut ad-Dahriyyah (golongan yang mengingkari adanya pencipta alam ini). Dengan hujjahnya pula, beliau mengalahkan empat puluh orang Yahudi yang meyakini bahwa Allah adalah jism (benda).  Beliau juga membantah orang-orang Mu’tazilah. Ibnu Abbas –radhiyallahu ‘anhu- juga berhasil membantah golongan Khawarij dengan hujjah-hujjahnya. Ibnu Abbas, al Hasan ibn ‘Ali, ‘Abdullah ibn ‘Umar  -radhiyallahu ‘anhum- juga telah membantah kaum Mu’tazilah. Dari kalangan Tabi’in; al Imam al Hasan al Bishri, al Imam al Hasan ibn Muhammad Ibn al Hanafiyyah cucu sayyidina ‘Ali, dan khalifah ‘Umar ibn Abd al 'Aziz -radhiyallahu ‘anhum- juga telah membantah kaum Mu’tazilah.  Dan masih banyak lagi ulama-ulama salaf lainnya, terutama al Imam asy-Syafi’i -radhiyallahu-, beliau sangat mumpuni dalam ilmu aqidah, demikian pula al Imam Abu Hanifah, al Imam Malik dan al Imam Ahmad -radhiyallahu ‘anhum-  sebagaimana dituturkan oleh al Imam Abu Manshur al Baghdadi (W 429 H) dalam Ushul ad-Din,  al Hafizh Abu al Qasim ibn ‘Asakir (W 571 H) dalam Tabyin Kadzib al Muftari, al Imam az-Zarkasyi (W 794 H) dalam Tasynif al Masami’ dan al 'Allaamah al Bayadli  (W 1098 H)  dalam Isyarat  al Maram dan lain-lain.
Telah banyak para ulama yang menulis kitab-kitab khusus mengenai penjelasan aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah seperti Risalah al 'Aqidah ath-Thahawiyyah karya al Imam as-Salafi Abu Ja’far ath-Thahawi (W 321 H), kitab al ‘Aqidah an-Nasafiyyah karangan al Imam ‘Umar an-Nasafi (W 537 H), al ‘Aqidah al Mursyidah karangan al Imam Fakhr ad-Din ibn ‘Asakir (W 630 H), al 'Aqidah ash-Shalahiyyah yang ditulis oleh al Imam Muhammad ibn Hibatillah al Makki (W 599 H); beliau menamakannya Hadaiq al Fushul wa Jawahir al Ushul, kemudian menghadiahkan karyanya ini kepada sulthan  Shalahuddin al Ayyubi (W 589 H) -radhiyallahu ‘anhu-, beliau sangat tertarik dengan buku tersebut sehingga memerintahkan untuk diajarkan sampai kepada anak-anak kecil di madrasah-madrasah, sehingga buku tersebut kemudian dikenal dengan sebutan al 'Aqidah ash-Shalahiyyah.
          Sulthan Shalahuddin adalah seorang ‘alim  yang bermadzhab Syafi’i, mempunyai perhatian khusus dalam menyebarkan al 'Aqidah as-Sunniyyah. Beliau memerintahkan para muadzdzin untuk mengumandangkan al 'Aqidah as-Sunniyyah di waktu tashbih (sebelum adzan Shubuh) pada setiap malam di Mesir, seluruh negara Syam (Syiria, Yordania, Palestina dan Lebanon), Mekkah dan Madinah, sebagaimana dikemukakan oleh al Hafizh as-Suyuthi (W 911 H) dalam al Wasa-il ila Musamarah al Awa-il dan lainnya.


[1] Q.S. Al 'Imran : 85
[2] Q.S. Al 'Imran : 19
[3]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar