Sejarah
perkembangan Ahlussunnah Wal jama’ah
Telah dijelaskan di atas bahwa
Ahlussunnah wal Jama’ah adalah golongan yang mengikuti Rasulullah dan para sahabatnya dalam
pokok-pokok akidahnya. Bahwa Allah ta’ala adalah satu-satunya Dzat yang
disembah dengan benar, tidak ada sekutu baginya baik dzat, sifat maupun
perbuatannya, pencipta segala sesuatu dan tidak serupa dengan ciptaan Nya.
Berdasarkan penjelasan
tersebut dapat dikatakan bahwa ajaran Ahlussunnah Wal Jama’ah pada
hakikatnya adalah ajaran seluruh nabi, sejak nabi pertama Adam sampai dengan
nabi terakhir sayyidina Muhammad –‘alaihimusholatu wassalam-. Sebab
seluruh para nabi tersebut mengajak umatnya untuk hanya memeluk agama Islam. Allah ta’ala berfirman:
وَمَنْ
يَبْتَغِ
غَيْـرَ
اْلإِسْلاَمِ
دِيْنًا
فَلَنْ
يَقْبَلَ
مِنْهُ
وَهُوَ
فِي
اْلآخِرَةِ
مِنَ
الْخَاسِرِيْنَ
“Orang yang mencari agama selain Islam
(untuk dipeluknya), maka tidak akan diterima darinya (agama yang dipeluknya
itu) oleh Allah, dan di akhirat ia termasuk orang-orang yang merugi”.[1]
Dalam ayat yang lain, Allah ta’ala berfirman:
إِنَّ الدِّيْنَ
عِنْدَ
اللهِ
اْلإسْلاَمُ
“Sesungguhnya agama yang benar menurut
Allah hanyalah Islam”.[2]
Dalam sebuah hadits
Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
الأَنْبِيَاءُ إِخْوَةٌ
لِعَلاَت دِيْنُهُمْ وَاحِدٌ وَأُمَّهَاتُهُمْ شَتىَّ
“Para
nabi itu saudara satu ayah lain ibu; agama mereka satu (Islam) dan ibu-ibu
(syari’at) mereka berbeda-beda”[3]
Pada zaman dahulu, seluruh umat manusia memeluk satu agama yaitu Islam,
kamudian barulah terjadi kekufuran dan perbuatan syirik kepada Allah setelah
zaman Nabi Idris –‘alaihissalam-. Nabi Nuh –‘alaihissalam-
adalah nabi pertama yang diutus oleh Allah kepada orang-orang kafir untuk masuk
dalam agama Islam kembali setelah seribu tahun lamanya (jahiliyah pertama)
mereka dalam kekufuran.
Demikian juga Nabi
Muhammad –shallallahu ‘alaihi wasallam-, beliau datang
untuk memperbaharui dakwah Islam setelah terputus keberadaannya di
tengah-tengah umat manusia di bumi ini selama 500 tahun lamanya (Jahiliyyah kedua). Beliau
dibekali dengan beberapa mukjizat yang menjadi bukti kenabiannya. Sehingga sbagian
umat manusia masuk Islam, namun sebagian yang lain karena kesombongannya,
mereka mengingkari kenabian beliau, meskipun mereka telah melihat mukjizat
Rasulullah. Namun ada juga di antara orang-orang Yahudi dan Nashrani yang
tunduk dan beriman, seperti; Abdullah bin Salam (seorang ulama Yahudi di
Madinah), Ash-hamah an-Najasyi (raja Habasyah) yang dulunya adalah seorang
nashrani, namun ia tunduk dan ikut pada ajaran Nabi Muhammad, dan akhirnya
meninggal pada saat Rasulullah masih hidup. Pada saat ia meninggal Rasulullah
menshalatinya (shalat ghaib), setelah Allah ta’ala mewahyukan
kepadanya tentang kematiannya. Dan ternyata, di atas kuburan Ash-hamah ini
sering terlihat cahaya, ini merupakan bukti bahwa ia adalah seorang muslim yang
sempurna dan termasuk wali Allah.
Selama Rasulullah masih hidup
tidak ada penyimpangan sedikitpun dalam masalah akidah. Karena setiap ada
persoalan dapat langsung ditanyakan kepada Nabi. Keadaan seperti ini bertahan
sampai pada masa khalifah Abu Bakar as Shiddiq dan khalifah Umar –radhiyallahu
‘anhuma-. Pada masa khalifah Utsman bin Affan –radhiyallahu ‘anhu- mulai
muncul benih-benih perpecahan dalam Islam, dan berakhir dengan terbunuhnya
sayyidina Utsman. Perpecahan di tubuh umat Islam semakin membesar pada
masa Sayyidina Ali –karramallahu wajhah-. Pada masa akhir kekhilafahan
beliau, muncul kelompok-kelompok yang menyimpang dari akidah sayyidina Ali –Ahlussunnah
Wal Jama’ah-, di antaranya adalah Khawarij yang mengkafirkan Ali, Utsman,
Mu’awiyah, Aisyah, Thalhah, Zubair, Amr ibn al Ash, Abu Musa al Asy’ari dan
semua orang yang setuju dengan tahkim. Mereka
juga mengkafirkan setiap orang yang berhukum dengan selain hukum Allah
secara mutlak. Pada waktu
bersamaan muncul juga kelompok syi’ah;
sebuah kelompok yang terlampau
berlebih-lebihan (ghuluw) dalam memuji dan mensifati sayyidina Ali dan membenci semua khalifah sebelumnya
-Abu Bakar as Shiddiq, Umar ibn al Khaththab dan Utsman bin Affan-.
Selanjutnya setelah tahun 260 H semakian banyak bermunculan sekte-sekte
yang mengajarkan akidah yang bertentangan dengan akidah Ahlussunnah; akidah
Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam-. Mereka diantaranya adalah Qadariyah,
Jabriyah, Murjiah, Dahriyah, Mu’tazilah, Musyabbihah, dan lainnya. Pada
saat itulah kemudian dua Imam yang agung Abu al Hasan al Asy’ari (W 324 H) dan Abu Manshur al
Maturidi (W 333 H) –radhiyallahu ‘anhuma- menjelaskan aqidah Ahlussunnah
Wal Jama’ah yang diyakini Rasulullah, para sahabat dan orang-orang yang
mengikuti mereka, dengan mengemukakan dalil-dalil naqli (nash-nash al
Qur’an dan al hadits) dan ‘aqli (argumen rasional) disertai dengan
bantahan-bantahan terhadap syubhah-syubhah (sesuatu yang dilontarkan
untuk mengaburkan hal yang sebenarnya) sekte-sekte tersebut.
Perkembangan sekte-sekte non Ahlussunnah tersebut, terutama Muktazilah yang
semakin kuat pada saat itu, akhirnya dengan hujjah-hujjah yang tidak
terbantahkan dapat diberantas dan dihilangkan pengaruhnya oleh dua imam
Ahlussunnah Wal Jama’ah tersebut. Dan
mengingat jasa yang begitu
sangat besar dari kedua imam tersebut, sehingga kemudian Ahlussunnah Wal
Jama’ah dinisbatkan kepada keduanya. Mereka (Ahlussunnah)
akhirnya dikenal dengan nama al Asy’ariyyun (para pengikut al Asy’ari)
dan al Maturidiyyun (para pengikut al Maturidi).
Sebelumnya, usaha untuk membantah dan memerangi ahli bid’ah juga telah dilakukan oleh para sahabat.
Sayyidina Ali –radhiyallahu ‘anhu- membantah golongan Khawarij dengan hujjah-hujjahnya.
Beliau juga membungkam salah seorang pengikut ad-Dahriyyah (golongan
yang mengingkari adanya pencipta alam ini). Dengan hujjahnya
pula, beliau mengalahkan empat puluh orang Yahudi yang meyakini bahwa Allah
adalah jism (benda). Beliau juga
membantah orang-orang Mu’tazilah. Ibnu Abbas –radhiyallahu ‘anhu- juga
berhasil membantah golongan Khawarij dengan hujjah-hujjahnya.
Ibnu Abbas, al Hasan ibn ‘Ali, ‘Abdullah ibn ‘Umar -radhiyallahu ‘anhum- juga telah
membantah kaum Mu’tazilah. Dari kalangan Tabi’in; al Imam al Hasan al Bishri,
al Imam al Hasan ibn Muhammad Ibn al Hanafiyyah cucu sayyidina ‘Ali, dan
khalifah ‘Umar ibn Abd al 'Aziz -radhiyallahu ‘anhum- juga telah
membantah kaum Mu’tazilah. Dan masih
banyak lagi ulama-ulama salaf lainnya, terutama al Imam asy-Syafi’i -radhiyallahu-,
beliau sangat mumpuni dalam ilmu aqidah, demikian pula al Imam Abu Hanifah,
al Imam Malik dan al Imam Ahmad -radhiyallahu ‘anhum- sebagaimana dituturkan oleh al Imam Abu
Manshur al Baghdadi (W 429 H) dalam Ushul ad-Din, al Hafizh Abu al Qasim ibn ‘Asakir (W 571 H)
dalam Tabyin Kadzib al Muftari, al Imam az-Zarkasyi (W 794 H) dalam Tasynif
al Masami’ dan al 'Allaamah al Bayadli (W 1098 H)
dalam Isyarat al Maram dan
lain-lain.
Telah banyak para ulama yang menulis kitab-kitab khusus mengenai penjelasan
aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah seperti Risalah al 'Aqidah
ath-Thahawiyyah karya al Imam as-Salafi Abu Ja’far ath-Thahawi (W
321 H), kitab al ‘Aqidah an-Nasafiyyah karangan al Imam ‘Umar an-Nasafi
(W 537 H), al ‘Aqidah al Mursyidah karangan al Imam Fakhr ad-Din ibn
‘Asakir (W 630 H), al 'Aqidah ash-Shalahiyyah yang ditulis oleh al Imam
Muhammad ibn Hibatillah al Makki (W 599 H); beliau menamakannya Hadaiq
al Fushul wa Jawahir al Ushul, kemudian menghadiahkan karyanya ini kepada
sulthan Shalahuddin al Ayyubi (W 589 H) -radhiyallahu
‘anhu-, beliau sangat tertarik dengan buku tersebut sehingga memerintahkan
untuk diajarkan sampai kepada anak-anak kecil di madrasah-madrasah, sehingga
buku tersebut kemudian dikenal dengan sebutan al 'Aqidah ash-Shalahiyyah.
Sulthan Shalahuddin
adalah seorang ‘alim yang
bermadzhab Syafi’i, mempunyai perhatian khusus dalam menyebarkan al 'Aqidah
as-Sunniyyah. Beliau memerintahkan para muadzdzin untuk
mengumandangkan al 'Aqidah as-Sunniyyah di waktu tashbih (sebelum
adzan Shubuh) pada setiap malam di Mesir, seluruh negara Syam (Syiria,
Yordania, Palestina dan Lebanon), Mekkah dan Madinah, sebagaimana dikemukakan oleh
al Hafizh as-Suyuthi (W 911 H) dalam al Wasa-il ila Musamarah al
Awa-il dan lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar